Sabtu, 03 Desember 2011

Kasus Keadilan dan Penderitaan

“1,5 Tahun Penderitaan Prita Dalam Permainan RS Omni”
         Hmmm, banyak sekali contoh kasus – kasus yang berhubungan erat dengan penderitaan dan keadilan di Negara Tercinta kita INDONESIA ini. Contoh kecil adalah Prita Mulyasari yang dituntut hukuman enam bulan penjara. Ia didakwa melakukan pencemaran nama baik terhadap Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera.
Adalah Jaksa Riyadi dan Rahmawati Utami yang melontarkan tuntutan dan dakwaan itu. Mereka bersikeras untuk memenjarakan Prita. Mereka bergeming di tengah derasnya dukungan masyarakat terhadap Prita. “Meski banyak dukungan masyarakat yang mengalir saya tidak terpengaruh gerakan masyarakat,” kata Riyadi.
Riyadi meminta majelis hakim membuat vonis berdasarkan fakta persidangan. Ia berharap keputusan yang dibuat majelis hakim bukan berdasarkan opini publik. “Jangan sampai opini publik yang digunakan, karena masyarakat tidak menghadiri persidangan dan membaca berkas perkara,” katanya.
Riyadi dan Rachmawati merupakan tim jaksa penuntut umum kasus Prita. Keduanya pula yang melayangkan gugatan atas penghentian kasus Prita. Dan, keduanya berhasil mengembalikan status Prita sebagai terdakwa setelah gugatan mereka dikabulkan Pengadilan Tinggi Banten.
Rahmawati yang juga menjabat sebagai Kepala Seksi Orang dan Benda Kejaksaan Tinggi Banten adalah jaksa yang menambahkan Pasal 27 dan Pasal 45 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada berkas perkara Prita.
Dengan dasar dua pasal tambahan yang memuat ancaman enam tahun penjara itulah, Jaksa Rahmawati kemudian mengajukan permohonan penahanan Prita ke Penjara Wanita Tangerang. Itulah mengapa Prita sempat mendekam di penjara selama tiga minggu.
Hasil eksaminasi yang dilakukan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) AH Ritonga atas kasus itu menyimpulkan, Jaksa Rahmawati tidak profesional saat menangani berkas perkara dari penyidik kepolisian.
Tak hanya Jaksa Rahmawati, tim Kejaksaan Agung juga memeriksa Kepala Kejaksaan Negeri Tangerang Suyono serta dua jaksa lainnya, yaitu Jaksa Penuntut Umum Riyadi dan Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Tangerang, Irvan Jaya Azis pada Juni lalu. Mereka diperiksa terkait sejumlah pasal yang didakwakan kepada Prita.
Sementara itu, Keunikan terjadi di tengah aksi pengumpulan koin Peduli Prita. Tak hanya koin atau uang yang lazim dipakai saat ini, di tengah gundukan koin yang telah terkumpul juga ditemukan cukup banyak koin-koin kuno dan koin yang tak laku.
“Koin yang terkumpul macam-macam, ada koin yang sudah tidak laku lagi, misalnya Rp 1 dan Rp 25. Mungkin dari orang yang punya celengan sejak lama,” kata Koordinator Posko Peduli Prita, Sesil, ketika dihubungidi Jakarta, Kamis malam.
Sesil mengaku bingung bagaimana menghitung koin-koin tua tersebut. Namun pihaknya telah memisahkan koin-koin tersebut dengan koin atau uang yang masih bisa digunakan.
Koin-koin langka itu, menurut Sesil, mencapai 3 stoples ukuran sedang.
Sebagai gantinya, apakah akan dilelang sebagai uang langka, Sesil mengaku hanya akan menyerahkan koin tua itu kepada Prita Mulyasari. “Tidak terpikir untuk itu (dilelang), langsung diberikan saja,” ujarnya.
Selain koin langka, Sesil juga menemukan beberapa koin dalam mata uang asing, yang dominan dari Amerika Serikat dan Australia.
“Jumlahnya bisa sampai satu stoples ukuran sedang,” kata Sesil.
Sama halnya dengan koin langka, uang asing itu juga dipisahkan dari uang “wajar” lainnya dan sama sekali belum dimasukkan dalam perhitungan.
Sesil mengaku masih konsentrasi pada penghitungan koin rupiah yang berlaku dulu. Karena, dia menambahkan, masih cukup banyak koin dan uang yang belum dihitung.
Tak hanya koin, uang kertas pun turut mewarnai aksi peduli Prita. Sesil menyebutkan pecahan uang kertas bernilai Rp 100 ribu, setelah dihitung, telah mencapai Rp 10 juta.
Hingga Kamis pukul 21.00 WIB, koin Prita telah terkumpul sebanyak Rp 151 juta. Pengumpulan koin telah ditutup, dan diperkirakan masih dibutuhkan beberapa hari untuk menyelesaikan penghitungan total.
Sementara itu, Politisi senior Partai Golkar, Zainal Bintang, menyatakan, kasus Prita Mulyasari, megaskandal Bank Century dan Kriminalisasi KPK membuktikan kekuatan media kian dahsyat sebagai sarana menyalurkan amanat penderitaan rakyat.
“Makanya kami menduga, kelompok kapitalis di belakang RS Omni kena batunya dalam kasus Prita ini. Begitu juga para antek `Neoliberalis` di balik megaskandal Bank Century serta kalangan `makelar kasus` (Markus) terkait kriminalisasi lembaga penegak hukum, pasti semakin `keder`,” katanya.
Kalangan kapitalis, antek neolib dan para Markus yang selama ini bebas berkeliaran di berbagai instansi penegak hukum, lembaga pemerintahan maupun Parlemen, menurut Zainal Bintang, tentu tak mengira betapa dahsyatnya kekuatan publikasi, informasi serta pers kita sekarang.
“Dalam kasus Prita saja, para kapitalis itu fikir, dengan menempuh jalur hukum, maka hukum dan aparat bisa mereka beli dan suara keadilan publik bisa mereka bungkam,” ujarnya.
Memihak Yang Teraniaya
Mereka lupa, lanjut Zainal Bintang, kekuatan publikasi dari komunitas media (elektronik, cetak dan dunia maya) selalu kini memihak kepada masyarakat yang teraniaya.
“Yah, kan makin panjang saja barisan rakyat yang teraniaya oleh hukum, uang dan kekuasaan. Itulah yang dilawan oleh `people power` yang tak perlu ramai-ramai dan capek-capek berpanas-panas di jalan, tetapi cukup dengan kekuatan media itu,” katanya lagi.
Tetapi memang, menurutnya, `people power` tentu bisa menjadi sebuah erupsi sosial, jika pada satu tahapan, kekuatan media itu dicoba-coba dibungkam oleh siapa pun.
“Yang jelas, sampai kini media nasional di mana-mana semakin baik untuk mampu menyibak tabir kebohongan dan kemunafikan mereka-mereka yang tidak berhati nurani. Hanya saja, masih perlu untuk lebih memihak rakyat lagi,” katanya.
Terutama kini, demikian Zainal Bintang, menghadapi Pilkada di mana-mana, agar pers bisa membeberkan calon-calon bupati, walikota dan gubernur yang sesungguhnya terindikasi korup, tetapi seolah jadi `sinterklass` bagi-bagi uang di desa.
“Rakyat bisa semakin teraniaya, karena dengan iming-iming Rp50 ribu hingga Rp100 ribu, suara rakyat dibeli demi kekuasan para koruptor itu yang memang gila untuk mempertahankan `status quo`-nya berkolaborasi dengan antek-antek neolib, kaum kapitalis hitam serta mafia markus,” tandasnya.
Bagi Zainal Bintang, KPK dan berbagai lembaga penagak hukum jangan lagi terlalu pelan dalam merespons suara-suara rakyat menyangkut korupsi ini, sebagaimana telah disuarakan melalui pers. Dari berbagai sumber