Sabtu, 05 November 2011

Wujud kebudayaan Masyarakat Indonesia

Ide/Gagasan
Negara yang mendapat julukan sebagai negara maritim dan dikenal sebagai pemilik banyak pulau dengan jumlah kurang lebih 17.504 buah pulau (7.870 diantaranya telah mempunyai nama, sedangkan 9.634 belum memiliki nama) yang bernama Indonesia ini, memiliki keunikan dari berbagai macam suku bangsa serta keramahan penduduk yang mendiaminya. Indonesia memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika yang berarti ‘walaupun berbeda tapi tetap satu jua’ adalah negara yang memiliki sekitar 300 bahasa/dialek daerah. Tidak mengherankan jika diketahui bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan kebudayaan karena terdapat sekitar 1.128 suku bangsa yang telah ‘bermukim’ di negara ini.
Adapun kebudayaan yang memiliki pengertian sebagai seluruh cara kehidupan dari masyarakat manapun dan tidak mengenai sebagian dari cara hidup itu yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan. Dari sekian banyak suku bangsa tersebut terpilih dua suku yang akan dibahas lebih lanjut yaitu mengenai Suku Betawi(Jakarta) dan Suku Anak Dalam Jambi (Suku Pedalaman).
Suku Betawi
Suku Betawi merupakan kebudayaan asli kota Jakarta. Kebudayaan suku betawi terbentuk dari akulturasi(percampuran) bebrbagai kebudayaan yang telah ada sebelumnya. Hal ini terjadi karena Jakarta sebagai tempat hidupu suku betawi merupakan daerah pesisir yang sejak dahulu menjadi pusat perdangan. Oleh karna itu, dengan sendirinya menjadi tujuan berbagai etnis dari kawasan nusantara dan dunia.
Di samping itu, sikap terbuka orang betawi dan penghargaannya yang tinggi terhadap perbedaan juga turut mempercepat akulturasi tersebut. Karena akulturasi tadi, kebudayaan suku betawi dapat dikelompokan menjadi beberapa jenis berdasarkan pengaruh kebudayaan- kebudayaan asal yang membentuknya, yaitu:
* Kebudayaan yang terbentuk oleh pengaruh kebudayaan arab dan melayu, seperti samrah,rebana,dan marawis
*Kebudayaan yang terbentuk oleh pengaruh kebudayaan cina seperti lenong, topeng betawi, gambang kromong, tari cokek, dan tari yapong
*Kebudayaan yang terbentuk oleh pengaruh kebudayaan portugis dan belanda, misalnnya keroncong tegu dan tanjidor.

Kebudayaan suku betawi bisa menjadi kebudayaan terkaya yang dimiliki Indonesia. Mengingat akulturasi yang terjadi pada kebudayaan suku yang cukup banyak tidak mengherankan jika akhirnya kebudayaan suku betawi ina kebudyaan menarik minat para pendatang untuk ikut mendiami sebagai besar wilaya Jakarta sebagai tempat berlangsungnnya kebudayaan suku betawi secara turun temurun
Suku Anak Dalam Jambi
Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatra tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatra Selatan. Mereka mayoritas hidup di propinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang. Terdapat pula beberapa cerita tentang asal usul suku anak dalam ini seperti menurut tradisi lisan Suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat yang lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman dua belas bukit tinggi. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi.
Aktivitas
Suku Betawi
Suku Betawi sangat mencintai kesenian, salah satu ciri khas kesenian mereka yaitu Tanjidor yang dilatar belakangi dari budaya belanda, selain itu betawi memiliki kesenian keroncong tugu yang dilatar belakangi dari budaya Portugis-Arab, kesenian gambang kromong yang dilatar belakangi dari budaya cina. Selain kesenian yang selalu ditampilkan dengan penuh kemeriahan, tata cara pernikahan budaya betawi juga sangat meriah.

Untuk adat prosesi pernikahan betawi, ada banyak serangkaian prosesi. Didahului masa perkenalan melalui “Mak Comblang”. Dilanjutkan lamaran, pingitan, upacara siraman. Prosesi potong cuntung atau ngerik bulu kalong dengan uang logam yang diapit lalu digunting. Kemudian dilanjutkan dengan malam pacar, malam dimana mempelai wanita memerahkan kuku kaki dan tangannya dengan pacar. Puncak adat betawi adalah Akad nikah.

Tradisi Meriah



Meriah dan penuh warna-warni, demikian gambaran dari tradisi pernikahan adat Betawi. Diiringi suara petasan, rombongan keluarga mempelai pria berjalan memasuki depan rumah kediaman mempelai wanita sambil diiringi oleh ondel-ondel, tanjidor serta marawis (rombongan pemain rebana menggunakan bahasa arab). Mempelai pria berjalan sambil menuntun kambing yang merupakan ciri khas keluarga betawi dari Tanah Abang.

Sesampainya didepan rumah terlebih dulu diadakan prosesi “Buka Palang Pintu”, berupa berbalas pantun dan Adu Silat antara wakil dari keluarga pria dan wakil dari keluarga wanita. Prosesi tersebut dimaksudkan sebagai ujian bagi mempelai pria sebelum diterima sebagai calon suami yang akan menjadi pelindung bagi mempelai wanita sang pujaan hati. Uniknya, dalam setiap petarungan silat, pihak mempelai wanita pasti dikalahkan oleh jagoan calon pengantin pria.

Prosesi Akad Nikah

Pada saat akad nikah, rombongan mempelai pria memberikan hantaran berupa :
Sirih, gambir, pala, kapur dan pinang artinya segala pahit, getir, dan manisnya kehidupan rumah tangga harus dijalani bersama antara suami dan istri.
Maket Mesjid, maksudnya adalah agar mempelai wanita tidak lupa akan kewajibannya kepada agama dan harus menjalani shalat serta mengaji.
Kekudung, berupa barang kesukaan mempelai wanita misalnya salak condet, jamblang, dan sebagainya.
Mahar atau mas kawin dari pihak pria untuk diberikan kepada mempelai wanita.
Pesalinan berupa pakaian wanita seperti kebaya encim, kain batik, kosmetik, sepasang roti buaya. Buaya merupakan pasangan yang abadi dan tidak berpoligami serta selalu mencari makan bersama-sama.
Petise yang berisi sayur mayur atau bahan mentah untuk pesta, misal : wortel, kentang, bihun, buncis dan sebagainya.

Acara berlanjut dengan pelaksanaan akad nikah. Yang kemudian dilanjutkan dengan penjemputan pengantin wanita. Selanjutnya, kedua pengantin dinaikkan ke dalam sebuah delman yang sudah dihias dengan masing-masing seorang pengiring. Delman tersebut ditutupi dengan kain pelekat hitam sehingga tidak kelihatan dari luar. Akan tetapi, dengan kain pelekat hitam yang ditempelkan pada delman, maka orang-orang mengetahui bahwa ada pengantin yang akan pergi ke penghulu.

Pernikahan

Pada hari pesta pernikahan, baik pengantin pria maupun pengantin wanita, mengenakan pakaian kebesaran pengantin dan dihias. Dari gaya pakaian pengantin Betawi, ada dua budaya asing yang melekat dalam prosesi pernikahan. Pengantin pria dipengaruhi budaya Arab. Sedangkan busana pengantin wanita dipengaruhi adat Tionghoa. Demikian pula dengan musik yang meramaikan pesta pernikahan.

Suku Anak Dalam Jambi
Pada awalnya untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya, Suku Anak Dalam melaksanakan kegiatan berburu, meramu, menangkap ikan dan memakan buah-buahan yang ada di dalam hutan. Namun, dengan perkembangan pengetahuan dan peralatan hidup yang digunakan akibat adanya akulturasi budaya dengan masyarakat luar, kini telah mengenal pengetahuan pertanian dan perkebunan.
Dalam pengelolaan sumberdaya hutan, Orang Rimba mengenal wilayah peruntukan seperti adanya Tanoh Peranokon, rimba, ladang, sesap, belukor dan benuaron. Peruntukan wilayah merupakan rotasi penggunaan tanah yang berurutan dan dapat dikatakan sebagai sistem suksesi sumber daya hutan mereka. Hutan yang disebut rimba oleh mereka, diolah sebagai ladang sebagai suplai makanan pokok (ubi kayu, padi ladang, ubi jalar), kemudian setelah ditinggalkan berubah menjadi sesap. Sesap merupakan ladang yang ditinggalkan yang masih menghasilkan sumber pangan bagi mereka. Selanjutnya setelah tidak menghasilkan sumber makanan pokok, sesap berganti menjadi belukor. Belukor meski tidak menghasilkan sumber makanan pokok, tetapi masih menyisakan tanaman buah-buahan dan berbagai tumbuhan yang bermanfaat bagi mereka seperti durian, duku, pohon setubung dan tenggeris sebagai tempat menanam tali pusar bayi yang baru lahir, pohon benal daunnya digunakan untuk atap rumah, kayu berisil digunakan untuk tuba ikan dan berbagai jenis rotan termasuk manau dan jernang.
Benuaron memiliki fungsi yang sangat besar bagi Orang Rimba, dimana selain berperan sebagai sumber makanan (buah-buahan) dan kayu bermanfaat (pohon benal, sialong, dan berisil) juga berperan sebagai tanoh peranokon. Tanah peranokon merupakan tempat yang sangat dijaga keberadaanya, tidak boleh dibuka atau dialih fungsikan untuk lahan kegiatan lain, misalnya untuk lahan perladangan atau kebun karena merupakan tempat proses persalinan ibu dalam melahirkan bayi. Tanoh peranokon yang dipilih biasanya yang relatif dekat dengan tempat permukiman atau ladang mereka serta sumber air atau sungai. Seiring berjalannya waktu, disaat seluruh tumbuhan yang terdapat di benuaron tersebut semakin besar dan tua, maka pada akhirnya benuaron tersebut kembali menjadi rimba.
Rotasi penggunaan sumberdaya hutan dari rimba menjadi ladang kemudian sesap, belukor dan benuaron, terakhir kembali menjadi rimba, merupakan warisan budaya mereka sehingga patut kita cermati juga bahwa Orang Rimba yang tergolong sebagai masyarakat terasing, ternyata memiliki kearifan tradisional dimana selama ini dilupakan oleh masyarakat atau pemerintah pusat.
Berbeda dengan suku Minang yang dulu sempat menganut agama Budha terutama pada zaman kerajaan Sriwijaya dan Dharmasraya serta tetap berpegang pada adat disamping  mengikuti perkembangan zaman, Suku Anak Dalam melakukan hal sebaliknya. Suku Anak Dalam dikenal sangat patuh terhadap adat istiadat yang sudah dianggap ‘harga mati’ sehingga dikenal pula hukum rimba atau disebut ‘seloka adat’. Misalnya, masyarakat Desa Rantau Keloyang, Kecamatan Pelepat, sampai sekarang masih memelihara tradisi dalam mencari pasangan hidup. Campur tangan tetua adat sangat dominan dalam perjodohan. Bahkan sang calon pengantin pria pun diuji kemahiran meniti sebatang kayu Antuy yang dikupas kulitnya sehingga licin. Jika berhasil (tidak jatuh), maka pria tersebut berhak mempersunting gadis idamannya.
Seorang anggota keluarga Suku Anak Dalam yang meninggal dunia merupakan peristiwa yang sangat menyedihkan bagi seluruh warga Suku, terutama pihak keluarganya. Kelompok mereka yang berada di sekitar rumah kematian akan pergi karena menganggap bahwa tempat tersebut tempat sial, selain untuk dapat lebih cepat melupakan kesedihan yang ada. Mereka meninggalkan tempat mereka tersebut dalam waktu yang cukup lama, yang pada jaman dulu bisa berlangsung antara 10 sampai 12 tahun. Namun kini karena wilayah mereka sudah semakin sempit (Taman Nasional Buki XII) karena banyak dijarah oleh orang, maka masa melangun menjadi semakin singkat yaitu sekitar 4 bulan sampai satu tahun. Wilayah melangun merekapun semakin dekat, tidak sejauh dahulu.
Pada masa sekarang apabila terjadi kematian di suatu daerah, juga tidak seluruh anggota Suku Anak Dalam tersebut yang pergi melangun. Hanya angota keluarga-keluarga mendiang saja yang melakukannya. Pada saat kematian terjadi, seluruh anggota keluarga Suku Anak Dalam yang meninggal dunia merasa sedih yang mendalam, mereka menangis dan meraung-raung selama satu minggu. Sebagian wanitanya sampai menghempas-hempaskan badannya ke pohon besar atau tanah, ada yang berteriak dan berkata-kata “ya Tuhan kami kembalikan nyawo urang kami yang mati.” Jenazah orang yang telah meninggal kemudian ditutup dengan kain dari mata kaki hingga menutupi kepala lalu diangkat oleh 3 orang dari sudung/rumah menuju peristirahatannya yang terakhir di sebuah pondok yang terletak lebih dari 4 Km ke dalam hutan. Pondok jenazah ini jika untuk orang dewasa tingginya 12 undukan dari tanah, jika anak-anak tingginya 4 undukan dari tanah. Pondok ini diberi alas dari batang-batang kayu bulat kecil dan diberi atap daun-daun kering. Jenazah Suku Anak Dalam tidak dimandikan dan dikuburkan dalam tanah. Menurut tradisi meraka, orang yang sudah meninggal masih mungkin hidup kembali, jika mereka dikuburkan dalam tanah, maka orang yang sudah meninggal tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk bangkit kembali menemui kelompoknya.
Kepercayaan tersebut bermula dari peristiwa dahulu kala dimana orang yang sudah sekarat (mungkin pingsan dalam waktu yang lama) ditinggalkan oleh kelompoknya di sebuah pondok di dalam hutan, dan kemudian ternyata ada di antara mereka yang dapat hidup dan sehat kembali serta pulang ke kelompoknya. Kejadian ini yang mengilhami meraka untuk tidak menguburkan jenazah orang yang sudah meninggal. Anggota kelompok sesekali masih menengok pondok dimana jenazah tersebut diletakan, mereka menengok dari jarak jauh untuk memastikan keadaan jenazah. Dalam hal ini yang menjadi tabu buat mereka, yaitu pelarangan menyebut rekan/keluarganya yang sudah meninggal dunia karena hal ini akan membuat mereka merasa kembali kepada kesedihan yang mendalam. Mereka mengatakan janganlah kawan sebut-sebut lagi orang yang sudah mati.
Kini terdapat tiga kategori kelompok pemukiman Suku Anak Dalam. Pertama yang bermukim didalam hutan dan hidup berpindah-pindah. Kedua kelompok yang hidup didalam hutan dan menetap. Ketiga adalah kelompok yang pemukimnya bergandengan dengan pemukiman orang luar ( orang kebiasaan ). Cara berpakaiannya pun kini bervariasi, yaitu: (1) bagi yang tinggal di hutan dan berpindah-pindah pakaiannya sederhana sekali, yaitu cukup menutupi bagian tertentu saja. (2) yang tinggal di hutan tetap menetap, di samping berpakaian sesuai dengan tradisinya, juga terkadang menggunakan pakaian seperti masyarakat umum seperti baju, sarung atau celana, (3) yang tinggal berdekatan dengan pemukiman masyarakat luar atau desa, berpakaian seperti masyarakat desa lainnya. Namun kebiasaannya tidak menggunakan baju masih sering ditemukan dalam wilayah pemukimannya.
Dalam lingkungan kehidupan Suku Anak Dalam Jambi, dikenal istilah kelompok keluarga dan kekerabatan, seperti keluarga kecil dan keluarga besar. Keluarga kecil terdiri dari suami istri dan anak yang belum menikah. Keluarga besar terdiri dari beberapa keluarga kecil yang berasal dari pihak kerabat istri. Anak laki-laki yang sudah kawin harus bertempat tinggal dilingkungan kerabat istrinya. Mereka merupakan satu kesatuan sosial dan tinggal dalam satu lingkungan pekarangan. Dengan kata lain suku ini juga penganut matrilinial, hal ini serupa dengan adat pada suku Minang yang mengharuskan pihak pria tinggal bersama dengan kerabat istri setelah menikah. Setiap keluarga kecil tinggal dipondok masing-masing secara berdekatan, yaitu sekitar dua atau tiga pondok dalam satu kelompok.
Kepercayaan Suku Anak Dalam terhadap Dewa-dewa roh halus yang menguasai hidup tetap terpatri, kendatipun diantara mereka telah mengenal agama Islam. Salah satu bentuk upacara ritual yang sering dilaksanakan adalah Besale (upacara pengobatan).
Benda/Wujud Fisik
Adapun benda-benda atau dalam bentuk apapun yang menjadi ciri khas atau simbol khusus baik dari Betawi maupun dari suku Anak Dalam Jambi, antara lain :
Betawi
Kesenian Betawi:
Ø  Ondel-Ondel
Ø  Gambang kromong
Ø  Lening Betawi
Ø  Tanjidor
Ø  Keroncong Tugu
Ø  Orkes Gambus
Ø  Rebana     
Ø  Orkes Samara
Ø  Tari Silat
Ø  Tari Topeng
Ø  Topeng Betawi
Ø  Wayang Betawi
 
Kerajinan Tangan Betawi:
Boneka Ondel - ondel Betawi

Makanan Khas Betawi:
*      Sayur Gabus Pucung
*      Dodol Betawi
*      Kue Akar Kelapa
*      Kue Rengginang
*      Kue Sagon
*      Kue Geplak
*      Kue Gipang
Suku Anak Dalam Jambi (Suku Kubu)
Kuantitas jenis kerajinan tangan terbatas. Ada kerajinan yang dibuat dari bambu, daun, rotan, rumput, kayu dan kulit. Seperti tikar untuk membungkus barang atau sebagai tempat tidur, dan wadah untuk tempat makanan, ubi, kain, damar, madu, garam dan lain-lain. Wadah wadah berfungsi sebagai tempat menyimpan, untuk membawa barang dan untuk melengkapi sistem adat, atau sebagai alat tukar-menukar dalam upacara perkawinan.
Kebanyakan tarian dan nyanyian adalah bagian upacara yang tidak terbuka bagi orang luar. Seorang Rimba bernyanyi lagu yang digunakan untuk mengambil sarang madu dari pohon yang tinggi.
Sumber Referensi :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar