Komisi Pemberantasan
Korupsi menetapkan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar sebagai tersangka
penerima suap untuk dua kasus sengketa pilkada setelah aksi Operasi Tangkap
Tangan KPK. Kasus penangkapan Akil sangat berbahaya bagi demokrasi Indonesia
yang mengalami transisi dari masa reformasi 1998 lalu.
Bagaimana jika MK yang melakukan
tindak pidana penyuapan? Mahkamah konstitusi (MK) adalah sebuah lembaga hukum
atau institusi kuat, penegak hukum tertinggi. Sebagai Ketua MK, Akil tidak
mencerminkan sikap menjunjung tinggi keadilan dan sangat bertentangan dengan
nilai-nilai pancasila terutama sila ke-5. Seharusnya dia menegakkan keadilan
bukan malah memperkaya diri sendiri dengan TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang)
atas perkara yang dihadapi dikehakiman. Peristiwa ini merupakan peristiwa
bersejarah dimana pertama kali ketua lembaga yang diharapkan sebagai palang
pintu terakhir penjaga kewibawaan Indonesia sebagai negara hukum sangat
mencoreng kewibawaan lembaga yang selama ini bertugas sebagai garda terdepan
penjaga martabat Undang-Undang dan akhirnya nanti timbul degradasi kepercayaan
masyarakat akan keadilan di Indonesia.
Dalam kasus ini Akil Mochtar tidak
bisa menjaga konsistensinya sebagai penegak lembaga independen yang bersih dari
segala intervensi maupun KKN. Dengan hal ini bukanlah institut lembaga (MK)
yang kotor tetapi ulah oknum yang tidak bertanggung jawab dengan kedudukan
jabatannya. Untuk itu perlu memikirkan masa depan MK, yang bisa menjaga
tegaknya kebenaran dan keadilan, juga memikirkan bagaimana MK bisa kredibel di
mata rakyat, karena dengan adanya kasus ini rakyat bisa tidak percaya lagi,
meskipun kejadian itu ulah oknum-oknum bukan institut lembaganya. Diharapkan
seorang pejabat publik yang melakukan pelanggaran hukum bisa dikenakan sanksi
dua kali lebih berat dibanding perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar