Sabtu, 09 Mei 2015

TANGGAPAN MENGENAI KASUS PELANGGARAN KODE ETIK HAKIM MK (AKIL MOCHTAR)



Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar sebagai tersangka penerima suap untuk dua kasus sengketa pilkada setelah aksi Operasi Tangkap Tangan KPK. Kasus penangkapan Akil sangat berbahaya bagi demokrasi Indonesia yang mengalami transisi dari masa reformasi 1998 lalu.
            Bagaimana jika MK yang melakukan tindak pidana penyuapan? Mahkamah konstitusi (MK) adalah sebuah lembaga hukum atau institusi kuat, penegak hukum tertinggi. Sebagai Ketua MK, Akil tidak mencerminkan sikap menjunjung tinggi keadilan dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai pancasila terutama sila ke-5. Seharusnya dia menegakkan keadilan bukan malah memperkaya diri sendiri dengan TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) atas perkara yang dihadapi dikehakiman. Peristiwa ini merupakan peristiwa bersejarah dimana pertama kali ketua lembaga yang diharapkan sebagai palang pintu terakhir penjaga kewibawaan Indonesia sebagai negara hukum sangat mencoreng kewibawaan lembaga yang selama ini bertugas sebagai garda terdepan penjaga martabat Undang-Undang dan akhirnya nanti timbul degradasi kepercayaan masyarakat akan keadilan di Indonesia.
            Dalam kasus ini Akil Mochtar tidak bisa menjaga konsistensinya sebagai penegak lembaga independen yang bersih dari segala intervensi maupun KKN. Dengan hal ini bukanlah institut lembaga (MK) yang kotor tetapi ulah oknum yang tidak bertanggung jawab dengan kedudukan jabatannya. Untuk itu perlu memikirkan masa depan MK, yang bisa menjaga tegaknya kebenaran dan keadilan, juga memikirkan bagaimana MK bisa kredibel di mata rakyat, karena dengan adanya kasus ini rakyat bisa tidak percaya lagi, meskipun kejadian itu ulah oknum-oknum bukan institut lembaganya. Diharapkan seorang pejabat publik yang melakukan pelanggaran hukum bisa dikenakan sanksi dua kali lebih berat dibanding perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar