KERUSAKAN LINGKUNGAN AKIBAT AKTIFITAS
PERTAMBANGAN OLEH PT FREEPORT INDONESIA
Disusun Oleh :
Dini
Andriyani / 39411384
Ia
Damayansis / 38411168
JURUSAN TEKNIK INDUSTRI
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS GUNADARMA
DEPOK
2015
BAB I
LATAR BELAKANG
Pertambangan
pada hekekatnya merupakan upaya pengembangan sumberdaya alam mineral dan energy
yang potensial untuk dimanfaatkan secara hemat dan optimal bagi kepentingan dan
kemakmuran rakyat, melalui serangkaian kegiatan eksplorasi, pengusahaan dan
pemanfaatan hasil tambang. Upaya tersebut bertumpu pada pendayagunaan berbagai
sumberdaya, terutama sumberdaya energy dan mineral, didukung sumberdaya energy
manusia yang berkualitas, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
kemampuan manajemen.
Tujuan dari
dilakukannya pertambangan yaitu sebagai bentuk pemanfaatan kekayaan alam yang
tersedia untuk mencapai salah satu tujuan bangsa untuk mensejahterakan
kehidupan masyarakat. Kegiatan pertambangan mempunyai banyak keunggulan
diantaranya memberikan pemasukan devisa Negara, memberikan
pemasukan anggaran biaya daerah, dan menyediakan lapangan kerja.
Namun sebagian besar hasil dari kegiatan pertambangan berdampak negatif
baik terhadap lingkungan maupun masyarakat.
Dampak
negatif aktifitas pertambangan yang terjadi di wilayah papua yaitu erosi limbah batuan telah mencemari perairan di gunung dan
gundukan limbah batuan yang tidak stabil telah menyebakan sejumlah kecelakaan.
Dampak ini disebabkan oleh suatu pertambangan yang telah dilakukan oleh PT
Freeport. Produksi tailing yang mencapai 220 ribu ton per hari dalam waktu 10
tahun terakhir menghasilkan kerusakan wilayah produktif berupa hutan, sungai,
dan lahan basah (wetland) seluas 120 ribu hektar, Freeport masih akan beroperasi
hingga tahun 2041. Jika tingkat produksinya tetap, maka akan mencapai 225.000
hingga 300.000 ton bijih per hari. Selain itu, Freeport juga tidak mampu
mengolah limbahnya baik limbah batuan (Waste Rock), tailing hingga air
asam tambang (Acid Mine Drainage). Untuk itu masyarakat berharap
pemerintah dapat mengatasi masalah ini dengan baik agar tidak merugikan baik
bagi masyarakat maupun lingkungan kehidupan terutama di wilayah papua.
BAB II
STUDI KASUS DAN PEMBAHASAN
2.1 PT Freeport
Indonesia
Freeport McMoRan Copper and Gold
pada awalnya merupakan sebuah perusahaan kecil yang berasal dari Amerika
Serikat yang memiliki nama Freeport Sulphur. Freeport McMoRan didirikan pada
tahun 1981 melalui merger antara Freeport Sulphur, yang
mendirikan PT Freeport Indonesia dan McMoRan Oil and Gas Company. Perusahaan
minyak ini didirikan oleh Jim Bob Moffet yang menjadi CEO Feeport McMoRan.
Sejak menemukan deposit emas terbesar dan tembaga terbesar nomor tiga di dunia
yang terletak di Papua Barat, perusahaan ini berubah menjadi penambang emas
raksasa skala dunia. Total asset yang dimiliki oleh Freeport hingga akhir tahun
2005 mencapai 3.3 miliar US dollar.
Aktivitas pertambangan Freeport di
Papua yang dimulai sejak tahun 1967 hingga saat ini talah berlangsung selama 42
tahun. Selama ini, kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport di Papua, telah
mencetak keuntungan finansial yang sangat besar bagi perusahaan asing tersebut,
namun belum memberikan manfaat optimal bagi negara, Papua dan masyarakat lokal
disekitar wilayah pertambangan. Aktivitas Freeport yang berlangsung dalam kurun
waktu lama ini telah menimbulkan berbagai masalah, terutama dalam hal
penerimaan negara yang tidak optimal, peran negara/ BUMN dan BUMD untuk ikut
mengelola tambang yang sangat minim dan dampak lingkungan yang sangat
signifikan, berupa rusaknya bentang alam pegunungan Grasberg dan Ertsberg.
Kerusakan lingkungan telah mengubah bentang alam seluas 166 km2 di
daerah aliran sungai Ajkwa.
2.2 Kerusakan
Lingkungan
Wilayah penambangan PT Freeport saat
ini mencakup wilayah seluas 2,6 juta hektar atau sama dengan 6,2% dari luas
Irian Jaya. Padahal, awal beroperasinya PT FI hanya mendapatkan wilayah konsesi
seluas 10.908 hektar. Secara garis besar, wilayah penambangan yang luas itu
dapat dianggap dieksploitasi pada 2 periode, yaitu periode Ertsberg (1967-1988)
dan periode Grasberg (1988- sekarang). Potensi bijih logam yang dikelola
Freeport awalnya hanya 32 juta ton, sedangkan sampai tahun 1995 naik menjadi
hampir 2 miliar ton atau meningkat lebih dari 58 kali lipat. Data tahun 2005
mengungkap, potensi Grasberg sekitar 2,822 juta ton metrik bijih.
Freeport selalu mengklaim
berkomitmen terhadap pengelolaan lingkungan hidup yang kuat. Meskipun telah
memiliki pengakuan ISO 14001 dan mengklaim memiliki program komprehensif dalam
memantau air asam tambang, Freeport terbukti tidak memiliki pertanggung jawaban
lingkungan. Perusahaan ini beroperasi tanpa transparansi dan tidak memenuhi
peraturan lingkungan yang ada. Terlepas dari keharusan untuk menyediakan akses
publik terhadap informasi terkait lingkungan, Freeport belum pernah mengumumkan
dokumen-dokumen pentingnya, termasuk Studi Penilaian Resiko Lingkungan (Environmental
Risk Assessment). Freeport juga tidak pernah mengumumkan laporan audit
eksternal independen tiga tahunan sejak 1999, seperti yang disyaratkan Amdal.
Dengan demikian perusahaan melanggar persyaratan izin lingkungan.
Dampak yang dihasilkan secara kasat
mata akibat limbah Freeport tidak kalah menakjubkan. Produksi tailing yang
mencapai 220 ribu ton per hari dalam waktu 10 tahun terakhir menghasilkan
kerusakan wilayah produktif berupa hutan, sungai, dan lahan basah (wetland)
seluas 120 ribu hektar, Freeport masih akan beroperasi hingga tahun 2041. Jika
tingkat produksinya tetap, maka akan mencapai 225.000 hingga 300.000 ton bijih
per hari. Selain itu, Freeport juga tidak mampu mengolah limbahnya baik limbah
batuan (Waste Rock), tailing hingga air asam tambang (Acid Mine
Drainage).
Hingga tahun 2005, setidaknya
sekitar 2.5 milyar ton limbah batuan Freeport dibuang ke alam. Hal ini
mengakibatkan turunnya daya dukung lingkungan sekitar pertambangan, terbukti
longsor berulang kali terjadi dikawasan tersebut. Bahkan salah satu anggota
Panja DPR RI untuk kasus Freeport menemukan fakta bahwa kecelakaan longsor
akibat limbah batuan terjadi rutin setiap tiga tahunan. Batuan limbah ini telah
menimbun danau Wanagon. Sejumlah danau berwarna merah muda, merah dan jingga
dikawasan hulu telah hilang, padang rumput Cartstenz juga didominasi oleh
gundukan limbah batuan lainnya yang pada tahun 2014 diperkirakan akan mencapai
ketinggian 270 meter dan menutupi daerah seluas 1.35 km2. Erosi
limbah batuantelah mencemari perairan di gunung dan gundukan limbah batuan yang
tidak stabil telah menyebakan sejumlah kecelakaan.
Ada dua hal yang membuat tailing
Freeport sangat berbahaya. Pertama, karena jumlahnya yang sangat
massif dan dibuang begitu saja ke lingkungan. Kedua, kandungan
bahan beracun dan berbahaya yang terdapat dalam tailing. Freeport mengklaim
bahwa tailingnya tidak beracun karena hanya menggunakan proses pemisahan logam
emas dan tembaga secara fisik. Freeport menyebutnya sebagai proses pengapungan
(floatasi), tanpa menggunakan sianida dan merkuri. Hal yang sama juga
dipakai oleh Newmont untuk tambang emasnya di Batu Hijau Sumbawa, NTB.
Faktanya, laporan Freeport menyebutkan mereka menggunakan sejumlah bahan kimia
dalam proses pemisahan logam yang bahkan resiko peracunannya tidak banyak
diketahui, bahkan oleh Freeport sendiri. Disamping itu, didalam tailing Freeport
masih terdapat kandungan tembaga yang masih tinggi dan sangat beracun bagi
kehidupan aquatic. Uji tingkat racun (toxicity) dan potensi
peresapan biologis (bioavailability) oleh Freeport di daerah yang
terkena dampak operasi tambang membuktikan bahwa sebagian besar tembaga
terlarut dalam air sungai terserap oleh tubuh makhluk hidup dan ditemukan
kandungannya pada tingkat beracun. Tembaga terlarut pada kisaran konsentrasi
yang ditemukan di sungai Ajkwa bagian bawah mencapai tingkat racun kronis bagi
30% hingga 75% organism air tawar. Tak hanya berbahaya karena kandungan logam
beratnya, jumlah tailing Freeport yang sangat masif juga memiliki bahaya yang
sama. Hingga tahun 2005 tidak kurang dari 1 milyar ton tailing beracun dibuang
Freeport ke sungai Aghawagon-Otomona-Ajkwa. Padahal cara pembuangan tailing
kesungai atauriverine tailing disposal seperti ini telah dilarang
disebagian besar negara di dunia, termasuk Indonesia.
Batuan tambang Freeport mengandung
logam sulfide (metal sulfides). Dimana ketika digali, dihancurkan dan
terkena udara dan air akan menjadi tidak stabil sehingga menghasilkan masalah
lingkungan serius. Masalah ini dikenal sebagai air asam tambang (Acid Mine
Drainage). Yang berbahaya karena memiliki tingkat keasaman sangat tinggi
(pH rendah). Limbah batuan tambang Grasberg yang terakumulasi berpotensi
membentuk asam. Limbah batuan ini dibuang ke lingkungan sekitar Grasberg dan
menghasilkan AMD dengan tingkat keasaman tinggi hingga rata-rata pH=3.
Kandungan tembaga pada batuan rata-rata 4.500 gram per ton dan eksperimen
menunjukkan bahwa sekitar 80% tembaga ini akan tebuang (leach) dalam
beberapa tahun. Bukti menunjukkan pencemaran AMD dengan tingkat kandungan
tembaga sekitar 800 miligram per liter telah meresap ke air tanah di
pegunungan. Resiko pencemaran AMD juga terjadi di dataran rendah di daerah
penumpukan tailing. Hal ini terjadi karena Freeport menetapkan rasio yang
sangat rendah dalam penetralan asam (kapur) dibanding potensi maksimum keasaman
bahkan lebih rendah dibanding praktek terbaik industri tambang yang ada.
Partikel sulfida yang menghasilkan asam cenderung mengendap terpisah dari
partikel kapur yang lebih ringan yang bertugas menetralisir asam.
2.3 Pelanggaran
Hukum Lingkungan
Sebagian besar kehidupan air tawar
sepanjang daerah aliran sungai yang dimasuki tailing telah hancur akibat
pencemaran dan perusakan habitat. Freeport telah melanggar PP No.82 Tahun 2001
tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Dalam pasal
11 disebutkan bahwa pencemaran air adalah memasukkan atau dimasukkannya makhluk
hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia,
sehingga kualitas air turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan air
tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
BAB III
KESIMPULAN
Tambang Freeport adalah bukti
kesalahan pengurusan pada sektor pertambangan di Indonesia dan bukti tunduknya
hukum dan wewenang negara terhadap korporasi. Pemerintah menganggap emas hanya
sebatas komoditas devisa yang kebetulan berada di tanah Papua. Telah sekian
lama pemerintah menutup mata terhadap daya rusak industry pertambangan di tanah
Papua. Tak hanya sebatas itu, pemerintah juga tidak pernah mampu mengontrol
perusahaan pertambangan agar lebih bertanggung jawab. Itulah sebab nya
pemerintah terus membiarkan Freeport membuang miliyaran limbahnya ke alam.
Meskipun belakangan diketahui bahwa Freeport belum memiliki izin pembuangan
limbah B3. Kementrian Lingkungan Hidup bahkan sudah menemukan sejumlah bukti
pelanggaran ketentuan hukum lingkungan sejak tahun 1997 hingga 2006. Pemerintah
juga tidak berani memaksa Freeport melakukan renegosiasi Kontrak Karya,
meskipun banyak pihak mendukung dan berbagai basis argumentasi telah dimiliki.
Oleh karena itu, ada beberapa solusi
dapat dilakukan oleh pemerintah antara lain :melakukan evaluasi terhadap
seluruh aspek pertambangan Freeport terutama aspek pengelolaan sumberdaya alam
dan lingkungan, melakukan perubahan Kontrak Karya Freeport yang lebih
menguntungkan bagi negara pada umumnya dan bagi rakyat Papua pada khususnya,
memfasilitasi sebuah konsultasi penuh dengan penduduk asli Papua terutama yang
berada di wilayah operasi Freeport dan pihak berkepentingan lainnya mengenai
masa depan pertambangan tersebut serta memetakan dan mengkaji sejamlah skenario
bagi masa depan Freeport, termasuk kemungkinan penutupan, kapasitas produksi
dan pengolahan limbah.
Konsep pembangunan berkelanjutan
harus dikedepankan oleh pemerintah, dengan memelihara kelestarian lingkungan.
Maka, pemerintah dapat menghentikan secara sepihak kegiatan korporasi asing
yang dapat merusak lingkungan selama melakukan penambangan sumberdaya alam
Indonesia. Perusakan lingkungan oleh asing merupakan utang lingkungan. Seluruh
pajak, royalty dan pembagian keuntungan yang diperoleh Indonesia melalui
korporasi pertambangan asing, niscaya tidak akan dapat membangun kembali
lingkungan yang telah rusak total tersebut. Oleh karena itu, penanganan kasus
ini merupakan agenda mendesak yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Apit, Moti.
2010. Pertambangan Freeport Dan Kerusakan Lingkungan: Bogor
Hallo, Mba. Salam kenal. Boleh aku minta alamat emailnya. Pengen sekali membaca hasil kajiannya Mba soal Freeport. Terima kasih
BalasHapus