A. Pengertian SDA
Sumberdaya
alam (SDA) berarti sesuatu yang ada di alam yang berguna dan mempunyai nilai
dalam kondisi dimana kita menemukannya. Tidak dapat dikatakan SDA apabila
sesuatu yang ditemukan tidak diketahui
kegunaannya sehingga tidak mempunyai nilai, atau sesuatu yang berguna tetapi
tidak tersedia dalam jumlah besar dibanding permintaannya sehingga ia dianggap tidak
bernilai. Secara ringkasnya, sesuatu dikatakan SDA apabila memenuhi 3 syarat
yaitu: 1) sesuatu itu ada, 2) dapat diambil, dan 3) bermanfaat. Dengan
demikian, pengertian SDA mempunyai sifat dinamis, dalam arti peluang sesuatu
benda menjadi sumberdaya selalu terbuka. Pemahaman mengenai SDA akan semakin
jelas jika dilihat menurut jenisnya. Berdasarkan wujud fisiknya, SDA dapat
dibedakan menjadi 4 klasifikasi yaitu :
1.
Sumberdaya Lahan
2.
Sumberdaya Hutan
3.
Sumberdaya Air
4.
Sumberdaya Mineral
Sedangkan
berdasarkan proses pemulihannya, SDA dibedakan menjadi 3 klasifikasi (Alen,
1959), yaitu :
1.
Sumberdaya alam yang tidak
dapat habis (inexhaustible natural resources), seperti : udara, energi
matahari, dan air hujan.
2.
Sumberdaya alam yang dapat
diganti atau diperbaharui dan dipelihara (renewable resource), seperti:
air di danau/sungai, kualitas tanah, hutan, dan margasatwa.
3.
Sumberdaya alam yang tidak
dapat diperbaharui (non-renewable resources/ irreplaceable atau stock
natural resources ), seperti : batubara, minyak bumi, dan logam.
Dalam
penggunaannya, SDA yang dapat diperbaharui dan tidak dapat diperbaharui dapat
saling melengkapi (komplementer), saling menggantikan (substitusi) atau dapat
bersifat netral. Kajian tentang hubungan di antara berbagai penggunaan SDA ini
akan sangat bermanfaat pada saat membahas masalah kebijaksanaan dalam
pengelolaan SDA. Ruang lingkup SDA mencakup semua pemberian alam di bawah atau
di atas bumi baik yang hidup maupun yang tidak hidup. Pengertian SDA meliputi
semua sumberdaya dan sistem yang bermanfaat bagi manusia dalam hubungannya
dengan teknologi, ekonomi, dan keadaan sosial tertentu. Definisi ini berkembang
dan sekarang mencakup sistem ekologi dan lingkungan. Setelah lepas dari alam
dan dikuasai oleh manusia, maka sumberdaya tersebut disebut barang-barang
sumberdaya (resource commodity). Dari definisi tersebut menjadi jelas
bahwa yang kita ketahui mengenai SDA tergantung pada keadaan yang kita warisi,
tingkat teknologi saat ini maupun yang akan datang serta kondisi ekonomi maupun
preferensi pasar (Howe, 1979).
B. Pengelolaan SDA
Prinsip
umum dalam ilmu ekonomi adalah bagaimana memenuhi kebutuhan umat manusia yang
cenderung tidak terbatas dengan ketersediaan sumberdaya yang terbatas atau
langka. Kelangkaan SDA ini merupakan salah satu faktor utama dalam kajian
ekonomi yang berwawasan lingkungan dan karena faktor kelangkaan itu pula maka
dibutuhkan pengelolaan SDA secara arif dan bijaksana. Tingkat ketersediaan dan
kelangkaan sumberdaya memberikan indikasi tentang bagaimana seharusnya
mengelola sumberdaya yang langka dimaksud agar tidak mengancam kelestariannya
dengan tanpa dan atau meminimalkan terjadinya degradasi lingkungan. Macam dan
karakterisasi sumberdaya tidak hanya menggambarkan bagaimana pentingnya
sumberdaya tersebut tetapi yang lebih penting adalah bagaimana sebaiknya
sumberdaya itu dikelola agar memenuhi kebutuhan ummat manusia tidak hanya masa
kini, tapi juga masa yang akan datang. Ada 4 (empat) hal yang perlu dicatat dalam
mengelola SDA (Irawan, 1992):
1. Biaya pengambilan/ penggalian semakin tinggi dengan semakin
menipisnya persediaan SDA tersebut
2. Kenaikan dalam biaya pengambilan/penggalian SDA akan diperkecil
dengan diketemukannya deposit baru serta adanya teknologi baru
3. Sebidang tanah tidak hanya bernilai tinggi karena adanya
sumberdaya mineral yang terkandung di dalamnya, tetapi juga karena adanya “opportunity
cost ” berupa keindahan alam itu.
4. Juga perlu diingat dan dibedakan antara penggunaan sumberdaya
yang bersifat dapat dikembalikan lagi dan penggunaan sumberdaya yang tak dapat
dikembalikan ke keadaan semula (irreversible).
Sumberdaya
yang menjadi perhatian utama dalam literatur ekonomi lingkungan adalah
sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui. Oleh karena itu alokasi yang dinamik
dari waktu ke waktu adalah penting untuk menjamin alokasi sumberdaya yang
berkelanjutan, diikuti dengan upaya-upaya lain yang bisa menekan kehabisan
sumberdaya. Disamping usaha alokasi yang berkelanjutan tersebut, kelangkaan
sumberdaya mempunyai peluang untuk diatasi yaitu paling tidak melalui 4 cara yaitu
(Yakin, 1997: 37):
1) eksplorasi dan penemuan
2) kemajuan teknologi
3) penggunaan sumberdaya substitusi
4) pemanfaatan kembali (reuse) dan daur ulang
(recycling).
C. Tinjauan Pengelolaan SDA
menurut UUNomor 22 Tahun 1999
Sebagaimana
telah dijelaskan bahwa semenjak telah diberlakukannya Undan gundang Nomor 22
Tahun 1999 tentangPemerintahan Daerah, kewenangan daerah adalah mencakup
seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar
negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan bidang lain yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP). Khusus mengenai pengelolaan SDA,
maka kewenangan daerah adalah mengelola sumberdaya Nasional yang tersedia di
wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Sehubungan dengan batasan kewenangan daerah
pengelolaan SDA tersebut, maka pengertian pengelolaan SDA adalah mencakup
kegiatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan rehabilitasi SDA.
C. Konsep
Pembangunan Berwawasan Lingkungan (Sustainable Development )
Dalam
konsep dasar pembangunan berwawasan lingkungan (PBL) ada dua aspek penting yang
menjadi perhatian utama yaitu lingkungan (ecology, the environment)
dan pembangunan (development). Dalam perkembangannya, konsep PBL ini
telah melahirkan pemikiran yang cukup variatif sesuai dengan konteks dan
kepentingan tertentu. Namun demikian, secara umum konsep ini mengacu pada
bagaimana mengharmoniskan dua kepentingan, yaitu pembangunan ekonomi dan
pelestarian lingkungan dan sumberdaya. Bahkan Redcliff (1991) berpendapat bahwa
konsep tentang PBL ini masih sangat kabur, paling tidak dilihat dari bagaimana mengimplementasikannya
(sisi praktis).
Selanjutnya,
definisi tentang PBL yang populer adalah seperti yang dikemukakan pada “Brundtland
Report“, Our Common Future (WCED, 1987) yaitu: Pembangunan
yang berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa
sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi
kebutuhannya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pembangunan yang berkelanjutan
merupakan suatu proses perubahan dalam mana eksploitasi sumberdaya, arah
investasi, orientasi pengembangan teknologi, perubahan institusi adalah semua
berada dalam keselarasan dan meningkatkan potensi masa kini dan yang akan
datang untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan manusia. Dalam hal ini, pembangunan
ekonomi harus berjalan selaras dengan kepentingan lainnya sehingga pertumbuhan
ekonomi tidak hanya memenuhi kepentingan generasi sekarang tetapi juga generasi
yang akan datang.
PERANAN SDA DAN PERTUMBUHAN
EKONOMI DAERAH
Sebagaimana
Teori Rostow, pertumbuhan ekonomi yang menuju kematangan (drive to maturity)
memerlukan peranan leading sector. Leading sector biasanya
bertumpu pada sektor primer yang berciri ekstraktif. Contohnya adalah tambang
minyak bumi sebagai sektor primer yang berperan penting dalam tahap awal
pembangunan ekonomi Indonesia.Begitupula halnya dengan kasus di Kabupaten-Kabupaten
Di Jawa Barat, peranan sektor primer (sektor pertanian, pertambangan dan
galian) dalam pembangunan ekonomi daerah tidak dapat diabaikan. Selama kurun
satu decade terakhir, kontribusi sektor primer masih merupakan yang dominan
yaitu berkisar walaupun secara agregat Share terhadap PDRB Kabupeten masih
kecil.
A. Kendala
Pengembangan SDA Daerah
1.
Masalah kebijakan/ peraturan pengelolaan SDA
Selama
ini, masalah utama yang paling menghambat dalam pengembangan SDA Daerah adalah adanya
kebijakan pengelolaan SDA secara terpusat. Walaupun pada awalnya kebijakan
tersebut dimaksudkan untuk meratakan hasilhasil pembangunan sehingga daerah yang
kaya SDA dapat memberikan subsidi kepada
daerah yang miskin SDA, namun pada kenyataannya banyak daerah yang merasa tidak
puas dan menuntut adanya pembagian hasil secara adil dan proporsional. Beberapa
contoh mengenai hal di atas adalah:
a. perlunya batasan
mengenai hak penguasaan pengelolaan SDA, seperti lahirnya PP Nomor 6 Tahun 1998
yang mengatur tentang batasan luas konsesi (hak penguasaan hutan) yaitu 100.000
Ha/ Propinsi atau 400.000 Ha/Nasional.
b. Ijin pengelolaan
SDA, antara lain seperti ijin HGU 200 Ha oleh BPN, ijin HPH oleh Dephut, dan
ijin kuasa pertambangan oleh Ditjen Pertambangan Umum, dan lainlain. Disamping
itu, masalah kebijakan pengelolaan SDA yang juga perlu diperbaiki adalah
mengenai upaya pemberdayaan para pengusaha kecil, koperasi dan masyarakat. Hal
ini mengingat bahwa ternyata dalam krisis ekonomi saat ini yang masih banyak
bertahan adalah ekonomi rakyat yang mengandalkan kepada sektor-sektor primer
skala kecil.
2.
Masalah Ketersediaan dan Kelangkaan SDA
Pada
dasarnya ketersediaan sumberdaya itu terbatas dan langka sifatnya baik dalam
dimensi waktu maupun ruang. Kelangkaan itu bisaterjadi karena terbatasnya ketersediaan
SDA pada suatu tempat sehingga tidak memenuhi kebutuhan lokal atau wilayah
tertentu. Konsep kelangkaan sumberdaya ini adalah sangat bermanfaat sebagai
dasar dalam menganalisis tingkat produksi dan konsumsi yang optimal sehingga memenuhi
kebutuhan manusia kini dan masa datang. Tingkat alokasi sumberdaya yang dinamis
dalam konteks analisa ekonomi lingkungan berpijak dari konsep kelangkaan ini. Kelangkaan
sumberdaya baik SDA yang tidak bisa diperbaharui maupun SDA yang bisa
diperbaharui pada dasarnya bisa diperkirakan melalui indikator fisik dan
indikator ekonomi (Tietenberg, 1992).
Indikator
fisik adalah menyangkut ketersediaan sumberdaya secara fisik. Jika secara fisik,
ketersediaan SDA melimpah, maka SDA tersebut dikatakan belum langka.
Sebaliknya, jika ketersediaan fisiknya sedikit, maka SDA tersebut langka
adanya. Sedangkan Indikator ekonomi ditentukan oleh 4 kriteria yaitu:
1) harga sumberdaya
2) nilai kelangkaan marjinal (scarcity rent
)
3) Biaya penemuan marjinal
4) biaya ekstraksi marjinal.
Meningkatnya
kebutuhan manusia akibat pertumbuhan penduduk dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat
merupakan salah satu faktor penting kenapa usaha-usaha untuk mengatasi
kelangkaan sumberdaya menjadi sangat penting. Kemampuan daerah dalam mengatasi
kelangkaan sumberdaya merupakan salah satu
upaya penting dan strategis menuju ke pembangunan berkelanjutan. Kelangkaan sumberdaya,
jika diupayakan untuk diatasi secara sungguh-sungguh, paling tidak ada empat
cara utama, yaitu:
1) Eksplorasi dan penemuan
2) kemajuan teknologi
3) penggunaan sumberdaya substitusi
4) pemanfaatan kembali dan daur ulang.
3. Masalah Lingkungan Hidup
Masalah
lingkungan hidup yang sangat menonjol adalah timbulnya polusi akibat
pemanfaatan SDA, disamping masalah degradasi lingkungan lain seperti semakin berkurangnya
potensi air tanah dan lahan. Semakin cepat pembangunan daerah biasanya diikuti
dengan polusi yang semakin besar. Sebagai contoh, adanya pembangunan suatu
proyek baru pasti akan merusak/ mengubah keadaan yang ada sebelumnya dan juga
memiliki dampak positif dan negatif terhadap lingkungan sekitarnya. Hal ini
disebut “externalities ”, yang terdiri dari “external economies “
dan “external diseconomies “. External economies merupakan
dampak positif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan sehingga menguntungkan bagi
lingkungan di luar kegiatan itu. Sebaliknya External diseconomies merupakan
dampak negatif yang timbul dari adanya suatu kegiatan. Hal yang sangat menonjol
mengenai external diseconomies yang kemudian menjadi external cost itu
adalah polusi atau pencemaran udara. Si produsen polusi biasanya tidak pernah menghitung
dan memasukkan dalam komponen biaya produksi pengorbanan atau penderitaan masyarakat
sekitarnya karena adanyapolusi tersebut, sehingga harga barang produksinya pun
tidak menjadi terlalu mahal. Lain halnya dengan Pemerintah yang selalu berusaha
membuat masyarakatnya lebih sejahtera, Pemerintah memandang polusi itu sebagai
biaya masyarakat (social cost ) yang harus dihindari atau dibatasi.
Untuk itu, Pemerintah dapat secara langsung campur tangan dengan mengharuskan
pemasangan alat-alat untuk mengurangi polusi atau Pemerintah dapat mengenakan pajak
yang tinggi agar polusi itu tidak banyak dihasilkan. Cara pengenaan pajak akan
lebih efektif karena menyangkut masyarakat yang luas, sedangkan campur tangan Pemerintah
secara langsung menghendaki pengamatan yang cermat dan ketat terhadap
masingmasing kegiatan polusi.
4.
Masalah Penguasaan Teknologi dalam Penggunaan SDA
Penggunaan
SDA dan peranan yang dimainkannya dalam meningkatkan standar hidup, tergantung
antara lain pada bentuk penyesuaian diri manusia atas alam sekitarnya yaitu
perubahan teknologi. Seperti halnya di negaranegara sedang berkembang, umumnya
sumber-sumber daya alam belum banyak digunakan, karena kurangnya pengetahuan
teknik. Termasuk dalam kaitan ini adalah penguasaan teknologi untuk tujuan inventarisasi
SDA dan penyusunan neraca SDA dan lingkungan yang sangat berperan dalam
menerapkan kebijakan pengelolaan SDA secara bijaksana.
5.
Faktor-faktor Sosial Budaya
dalam Penggunaan SDA
Nilai
penggunaan dan eksploitasi sumber-sumber alam dipengaruhi oleh keadaan-keadaan
dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam masyarakat pra-industri (belum mengalami
kegiatan industri) misalnya, masyarakat itu dipandang oleh penduduknya sebagai
sesuatu yang misterius dan belum dapat dimengerti. Kebutuhan-kebutuhan akan
materi terbatas pada kebutuhan yang pokok. Dalam kebudayaan semacam itu manusia
belum berfikir untuk menggunakan atau mengeksploitasi sumber-sumber alam yang
ada. Sebaliknya dalam masyarakat industri atau yang telah maju, sikap
masyarakat itu adalah agresif dan ingin menguasai alam. Sumber-sumber
ditemukan, diperkembangkan, dan dikuasai untuk menyediakan kebutuhan-kebutuhan manusia
yang selalu berkembang. Pengetahuan teknologi memegang peranan yang sangat
penting dalam masyarakat tersebut. Disamping itu, kepercayaan yang ada dalam
masyarakat kadang-kadang juga menghambat konsumsi tertentu. Misalnya bagi orang
Yahudi dan Islam, mereka tidak makan daging babi; orang Hindu tidak makan
daging sapi. Kepercayaan semacam
itu mungkin akan memaksa pembagian selanjutnya faktor kepercayaan ini akan
menghalangi mereka untuk bergerak dari sektor pertanian ke sektor industri.
Sebagai misal, ada sebuah pabrik kepunyaan bangsa Indonesia keturunan Cina dan mungkin
hanya akan mempekerjakan buruh keturunan Cina saja, alasannya bukan karena ini
satu bahasa atau setia kawan misalnya, tetapi sukar sekali bila menggunakan
buruh penduduk asli yang beragama Islam yang tidak memakan daging babi.
6.
Keadaan ekonomi yang membatasi penggunaan SDA
Seperti
telah dijelaskan bahwa faktorfaktor khusus dalam kebudayaan yang berbeda dapat
menghambat kemajuan perekonomian dalam arti penggunaan sumber alamnya. Diantara
faktor-faktor khusus yang ada dalam masyarakat itu mungkin sekali terdapat
keadaan perekonomian yang menyebabkan adanya perbedaan antara penggunaan yang
optimum dan penggunaan yang sebenarnya daripada sumber-sumber itu. Dengan kata
lain, mungkin sekali keadaan ekonomi dapat menghambat penggunaan optimum dari
sumbersumber alam itu, misalnya (Irawan, 1992) :
a. Tidak tersedianya
faktor-faktor lain
Bahwa sumber-sumber alam bisa saja akan
tetap berada di tempatnya ataupun tidak digunakan karena tidak tersedianya
faktor-faktor lain yang dibutuhkan untuk mengerjakannya atau ada tetapi telah
digunakan untuk hal-hal yang kurang produktif.
b. Organisasi yang
kurang baik
Kemajuan hanya sedikit dapat dicapai karena
tidak mempunyai pengorganisir komunikasi yang efektif
c. Distribusi yang
tidak baik
Tidak adanya sistem distribusi yang baik,
misalnya transportasi yang baik, pengawasan pasar dan sebagainya akan
menghalangi hasil panen yang maksimum.
d. Bentuk pasar yang
tidak tepat
Bentuk organisasi pasar dapat juga mempengaruhi
penggunaan SDA. Adanya monopoli dan peraturanperaturan pemerintah misalnya dapat
menghalangi berdirinya industri-industri lokal yang menggunakan bahan-bahan mentah
dalam negeri.
e. Perubahan-perubahan
biaya
Pada umumnya setiap sumber alam yang
diketemukan akan dapat dieksploitir secara ekonomis asalkan biaya-biaya
ekspolitasi (menggali) dan sebagainya diharapkan dapat terbayar.
f. Ketergantungan
pada ekspor
Bagi negara-negara sedang berkembang pada
umumnya, perbandingan antara ekspor dan pendapatan nasional adalah tinggi. Pembelanjaan
dan penerimaan pemerintah sebagian terbesar tergantung pada ekspor. Karena itu,
harus diusahakan disamping menambah banyaknya sumber alam juga menambah macam
sumber alam yang dimiliki, kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan ekspor.
B. Alternatif
Konsep Pengelolaan SDA
1.
Produk Domestik Regional Bruto sebagai
Indikator Pertumbuhan
Telah
disepakati bahwa untuk mengukur tingkat kesejahteraan ekonomi suatu daerah
digunakan indikator pendapatan atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita.
Semakin tinggi indikator PDRB per kapita semakin makmur daerah tersebut. Lebih
tepat lagi apabila yang digunakan sebagai indicator kemakmuran adalah nilai
pendapatan Netto per kapita yaitu setelah penyusutan barang-barang capital buatan
manusia diperhitungkan. Namun demikian, perkembangan terakhir dalam konsep
penghitungan atau penyusunan Neraca Nasional/Daerah untuk mendapatkan indicator
kemakmuran perlu diperhitungkan penyusutan SDA dan menurunnya mutu lingkungan.
Hal ini dapat diterima oleh akal sehat, bahwa apabila nilai pendapatan Netto
tidak atau belum dikurangi penyusutan SDA, akan mencerminkan nilai pendapatan
yang semu karena menyusutnya modal alam (natural capital) yang berarti
menyusutnya kemampuan daerah yang bersangkutan dalam menghasilkan barang dan
jasa di kemudian hari. atau dengan kata lain akan menyebabkan penurunan pendapatan.
Untuk
memperoleh nilai pendapatan daerah yang sudah disesuaikan dengan penyusutan
SDA, maka perlu dibuat neraca SDA dan lingkungan (natural resource and
environmental accounting). Dalam neraca SDA ini biasanya disajikan niali
cadangan awal, pertumbuhan, pengambilan, dan kerusakan serta cadangan akhir. Pendekatan
ini merupakan pendekatan kesejahteraan. Namun demikian, karena umumnya sulit
untuk mengetahui besarnya nilai cadangan awal, maka pendekatan pendapatan yang
digunakan hanya mencatat besarnya pengambilan SDA, pertumbuhan dan
kerusakannya. Secara keseluruhan penyusunan neraca SDA dan lingkungan akan sangat
berguna untuk penyusunan kebijakan dalam pengelolaan SDA guna dikaitkan dengan
kebijakan pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi.
2.
Prinsip Dasar Penggunaan SDA Secara Bijaksana
Penerapan
konsep pengelolaan SDA secara terpadu pada dasarnyamemerlukan beberapa prinsip
dasar dalam penggunaan SDA. Prinsip dasar tersebut didasarkan atas penjabaran
ketentuan yang diatur baik dalam TAP MPR hasil Sidang Istimewa Tahun 1998
maupun dalam UU Nomor 32 dan 33 Tahun 2004. Beberapa prinsip dasar tersebut antara
lain :
a. Menjaga
produktivitas (sesuai dengan TAP MPR No. X/MPR/1999 tentang Pokok-pokok Reformasi
Pembangunan yang berbunyi: mendayagunakan potensi ekonomi dari sumberdaya alam
khususnya sumberdaya kelautan termasuk pengamannya untuk meningkatkan ekspor)
b. Memperhatikan
kelestarian atau sustainability
c. Menganggap SDA
sebagai asset dalam proses pembangunan, bukan sebagai faktor produksi
d. Manfaat yang
diperoleh dari pemanfaatan SDA digunakan untuk investasi
3.
Inventarisasi SDA secara
Menyeluruh dan Terkoordinasi
Kegiatan
inventarisasi SDA adalah salah satu aktivitas untuk mengetahui data dan
informasi mengenai jenis, potensi dan sebaran SDA di suatu daerah tertentu.
Dengan kata lain, kegiatan inventarisasi SDA merupakan langkah awal dalam rangka
melakukan evaluasi SDA yang terdapat di suatu daerah. Ketersediaan data dan
informasi mengenai keberadaan SDA tersebut sangat diperlukan sebagai bahan input
bagi perencana didalam mengelola SDA demi terjaminnya pembangunan daerah secara
berkelanjutan.
Untuk
memperoleh data dan informasi yang akurat mengenai jenis, potensi dan sebaran
SDA tersebut diperlukan kerjasama seluruh dinas/instansi yang terkait dalam
pengelolaan SDA sehingga merupakan suatu kegiatan yang terpadu. Sesuai dengan
penjelasan mengenai klasifikasi SDA, maka kegiatan inventarisasi SDA yang
dimaksud meliputi:
o Inventarisasi SDA
Lahan
o Inventarisasi SDA
Hutan
o Inventarisasi SDA
Air
o Inventarisasi SDA
Mineral
4.
Penyusunan Neraca SDA bagi Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan
berkelanjutan memerlukan pendataan mengenai tersedianya faktor produksi, tidak hanya
faktor produksi kapital dan tenaga kerja tetapi juga faktor produksi yang
berasal dari alam. Dengan diketahuinya persediaan SDA, maka para pembuat
keputusan dan kebijakan akan lebih mampu mengelola SDA yang ada, mengembangkan
dan memanfaatkannya. Pencatatan tersebut disebut Neraca Sumberdaya Alam dan
Lingkungan, yang mencatat baik persediaan maupun perubahanperubahan baik yang
berupa penambahan maupun pengurangan persediaan SDA tertentu. Pembuatan neraca
SDA dan lingkungan ini sebaiknya mencakup neraca fisik maupun neraca moneter tetapi
neraca moneter memerlukan metode penilaian SDA yang cukup rumit. Neraca moneter
sangat berguna bagi dasar penentuan pungutan atau royalti dan pajak bagi pemerintah.
Walaupun saat ini telah lahir UU.No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang diantaranya mengatur dana perimbangan
5.
Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam Pengelolaan SDA
Pengembangan konsep pengelolaan SDA secara
terpadu diharapkan dapat mewujudkan pembangunan berwawasan lingkungan atau pembangunan
berkelanjutan. Oleh karenanya dibutuhkan keterlibatan semua pihak baik
pemerintah dengan seluruh perangkat terkait, pihak swasta dan atau
pelaku ekonomi, serta masyarakat luas atau konsumen. Kesemua unsur tersebut perlu
keterpaduan dan kebersamaan visi untuk menuju dan mensukseskan pembangunan
berwawasan lingkungan.
Berkenaan
dengan upaya mensukseskan pembangunan berwawasan lingkungan, terdapat paling
tidak ada 6 faktor penentu (Yakin, 1997 : 244-253) yaitu :
a. Kehendak politik
Pemerintah
b. Peranan Institusi
Lingkungan Pemerintah
c. Peranan Lembaga
Swadaya Masyarakat
d. Peranan Sektor
Industri
e. Peranan Media
Massa
f. Kesadaran dan
Partisipasi Masyarakat
Sedangkan
dalam rangka menerapkan konsep pengelolaan SDA secara terpadu dalam rangka mewujudkan
pembangunan berwawasan lingkungan sebaiknya menempuh 5 (lima) jalur sebagai berikut
(mengambil istilah Prof. Ir. Eko Budihardjo, MSc., 1997 : 32 mengenai peranan
manusia dalam pelestarian alam) yaitu :
a. Jalur Politis
b. Jalur Organisasi
c. Jalur Administrasi
d. Jalur Profesi
e. Jalur Ilmiah
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan, beberapa
kesimpulan dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Sumberdaya Alam (SDA) sebagai salah satu unsur yang menentukan perkembangan
ekonomi daerah. Struktur perekonomian daerah didominasi oleh SDA (pertanian, pertambangan
dan galian). Namun demikian, share terhadap pendapatan daerah masih belum
optimal.
2.
Upaya Pengelolaan SDA merupakan suatu keharusan. Hal ini mengingat ketersediaan
SDA terbatas.
3.
Pengelolaan SDA Daerah memerlukan kebijakan yang bersifat konseptual,
aspiratif, dan aplikatif. Oleh karena itu, pengelolaan secara partisipatif
dengan mempertimbangkan penilaian secara menyeluruh dan terkoordinasi sesuai dengan
kondisi dan peran masingmasing pemangku kepentingan.
Rekomendasi
Sesuai
dengan Pengembangan Konsep Pengelolaan SDA Daerah harus disesuaikan dengan
situasi dan kondisi daerah sendiri
1.
Konsep Pengelolaan SDA secara terpadu merupakan salah satu alternatif
yang dapat dipertimbangkan untuk diterapkan. Hal ini karena implikasinya yang
sangat luas, disamping untuk kepentingan membuat berbagai kebijakan, juga yang
terutama adalah bertujuan untuk memperkuat perekonomian nasional/daerah.
2.
Dalam rangka Penerapan suatu konsep pengelolaan SDA diperlukan penelitian/
pengkajian awal yang matang.
DAFTAR PUSTAKA
Charles W. Howe, Natural Resource Economics ,
John Wiley & Sons, New York, 1979, ch. 1. Irawan,
Suparmoko M, Ekonomika Pembangunan, BPFE – Yogyakarta, Edisi 5, 1992, Hal. 121-124.
Redclift, Michael. (1991). The Role of Agricultural
Technology in Sustainable Development in. P.
Lowe, T. Marsden, and S. Whatmore (editors), Technological Change and The Rural
Environment. London : David
Fulton Publisher, pp. 81-103.
Shirley Walter Allen, Conserving Natural Resources,
Principles and Practice in a Demogracy, McGraw-Hill
Book Company, Inc. New York, 1959, Halaman 2-3.
Solihin, Amir dan Sudirja, Rija. 2007. Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara
Terpadu Untuk Memperkuat
Perekonomian Lokal. Ilmu Tanah Fakultas
Pertanian UNPAD: Padjajaran
Tietenberg, Tom, 1992a. Environmental and
Natural Resources Economics. New York, USA: Harper
Collins Publishers Inc.
Tietenberg, Tom, 1992b. Innovation in Evironmental
Policy: Economic and Legal Aspects of Recent
Development in Environmental Enforcement and Liability. Vermont, USA : Edward Elgar.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintah Daerah
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan
Daerah
Yakin, Addinul, (1997). Ekonomi Sumberdaya
dan Lingkungan. Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan
Berkelanjutan. Cet. 1. Akademika Pressindo, Jakarta.
WCED, 1987. Our Common Future :Brundtland
Report.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar